Selasa, 29 Juli 2008

KAUMKU .... BANGKITLAH

Wahai kaumku....
Kita bukan makluk lemah
Kita bukan 'santapan' kaum pria
Kita bukan Siti Nurbaya
Kita bukan simbol segala simbol
Kita harimau..
yang setiap saat bisa Mengaummmm

Wahai kaumku....
Kita bisa buktikan
Kita bisa raih
Kita bisa berbuat
Kita bisa seperti pria
Kita juga bisa menjadikan pria simbol
Kita bisa berteriak
yang mampu memecah keseriusan pria

Wahai kaumku....
Mari secara bersama kita bangkit
Mari secara bersama kita kompak
Mari kita buktikan
Perempuan bukan makluk lemah
Kita dukung kaum sendiri
jadi perempuan yang tangguh
tuk memperjuangkan aspirasi kaum perempuan

Majulah kaumku
Kita mampu seperti pria
Kita mampu duduk di tempat pria
Kita mampu jadi atasan pria
yang tak melupakan kodrat kita sebagai wanita
kodrat sebagai ibu rumah tangga
dan, kodrat sebagai pendamping suami yang setia .......

Senin, 28 Juli 2008

PEREMPUAN - PEREMPUAN POLITIK

Ditulis oleh Eddy Prasetyo Tuesday, 03 July 2007

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 10 Mei 2007, Kantor Pemberdayaan Perempuan (KPP) Kota Batam bekerjasama dengan Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Kota Batam menggelar Program Peningkatan dan Pencerdaskan Kualitas Perempuan dalam Politik.

Acara yang menghadirkan pembicara Dra. Hj. Maimanah Umar, MA, Ketua Kaukus Parlemen Perempuan Indonesia (KPPI) dan Gevarina Johan, MA Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia ini, menurut Dra. Hj. Nurmadiah, M.Pd Kepala KPP Kota Batam bertujuan untuk meningkatkan wawasan dan kualitas perempuan di bidang politik. “Kalaupun tidak untuk duduk di legislatif, eksekutif atau yudikatif, minimal perempuan tahu hak dan kewajibannya serta tidak buta politik”, kata Kepala KPP, Nurmadiah (Harian Batampos, 16/5/2007)


Hampir di seluruh belahan dunia (termasuk di Indonesia), hak demokratik yang bersifat proporsional bagi kaum perempuan, baik hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dapat dipilih dalam pemilihan umum (right to stand for election, dalam bentuk terjaminnya serta terpenuhinya keterlibatan perempuan dalam wilayah partisipasi politk dinilai belum cukup signifikan.

Struktur budaya yang bersifat patriarkhis serta kondisi sosial politik yang terjadi, dianggap belum mendukung sepenuhnya terhadap kapasitas perempuan untuk dapat tampil, bersaing dan maju. Padahal secara realita fakta di lapangan menunjukkan jumlah pemilih perempuan cenderung terus meningkat bahkan melebihi jumlah pemilih dari kaum laki-laki.

Merupakan sebuah niat baik, ketika akhirnya pemerintah mengesahkan Undang-Undang Pemilu, dimana dalam batang tubuh Undang-Undang Pemilu Pasal 65 Ayat (1) secara spesifik mengatur bahwa : “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen” (Himpunan Undang-Undang Bidang Politik, 2004)

Menurut Alan Wall, atas dasar laporan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 1995 disertai analisa tentang gender dan pembangunan di 174 negara, menyatakan bahwa meskipun benar tidak ada hubungan nyata yang terbentuk antara tingkat partisipasi perempuan dengan lembaga-lembaga politik dan kontribusi mereka terhadap kemajuan perempuan, jumlah 30 persen dianggap jumlah kritis yang dapat membantu perempuan untuk memberi pengaruh yang berarti dalam politik. (Alan Wall, 2001 dari Vina Salviana, 2006)

Mengapa perempuan belum mendapatkan haknya secara maksimal atas kuota sebesar 30 persen, walaupun telah dikuatkan oleh Undang-Undang yang mengaturnya ?
Kenyataan yang terjadi adalah, dalam tubuh partai-partai politik, ketika secara internal melakukan kegiatan sosialisasi bersamaan dengan pendidikan politik untuk pengurus dan konstituennya sama sekali belum menyentuh secara khusus substansi keterlibatan perempuan dan kuota sebesar 30 persen yang dimiliki.

Kondisi tersebut dianggap sebagai salah satu penyebab mengapa peran perempuan dalam keterlibatannya sebagai bagian penentu kebijakan politis menjadi tidak maksimal, selain pendapat yang mengidentifikasikan seringnya terjadi gesekan-gesekan antara kepentingan partai politik dan kepentingan kaum perempuan, dimana kaum perempuan cenderung mementingkan perjuangan kelompoknya saja.

Menurut Vina Salviana, aksi mendukung (affirmative action) merupakan faktor yang dianggap strategis untuk mempromosikan perempuan dalam posisi pengambil keputusan, selain faktor-faktor lainnya, yaitu menyangkut sistem pemilu, peran organisasi partai-partai politik serta penerimaan dari sisi kultural (Vina Salviana, 2006)

Pendidikan Politik Perempuan

Banyak kalangan berpendapat bahwa salah satu solusi bagi keterwakilan perempuan di bidang politk berupa pelaksanaan pendidikan politik bagi kaum perempuan itu sendiri, walaupun belum ditemukan formula yang efektif, bentuk pendidikan politik seperti apa yang perlu dilakukan.

Mengapa pendidikan politik bagi perempuan menjadi penting ? sebagaimana dipaparkan dalam makalah yang disampaikan Dra. Hj. Maimanah Umar, MA bahwa : Kiat meningkatkan prestasi perempuan di wahana politik, harus memiliki beberapa syarat antara lain : memiliki konsep diri/ mengetahui dirinya sendiri ; memiliki jati dri ; memiliki kapasitas ; memiliki kredibilitas ; memiliki kapabelitas ; memiliki disiplin ; dapat membagi waktu dengan skala prioritas dan senantiasa berupaya meningkatkan kualitas diri’ilmu pengetahuan.

Menurut hemat penulis apa yang disampaikan oleh Ketua KPPI tersebut masih dalam tataran yang bersifat umum, memerlukan kajian mendalam yang implementatif dan tepat sasaran. Mengingat gerakan politik sarat dengan improvisasi diplomasi dan bukan sebatas pada teoritis politik un sich.

Pastor J.B Mangunwijaya pernah membuat sebuah tulisan yang menggambarkan lima orang aktivis perempuan datang dengan pesawat terbang dari Jakarta, dengan berdandan mewah, mengenakan lipstik yang berharga puluhan ribu dengan rambut disasak oleh salon yang sangat mahal, kemudian pargi ke pasar Bringharjo di Yogyakarta. Di sana, mereka menjelaskan dalam bahasa Indonesia yang lancar, dengan diselingi oleh istilah-istilah bahasa asing, menjelaskan hak-hak perempuan kepada ibu-ibu para pedagang kecil (mungkin kepada mereka yang buta huruf bercampur aduk dengan yang melek huruf). Setelah satu jam penjelasan diberikan, para pedagang kecil itu mlongo dan tidak mengerti apa yang diuraikan. Kemudian kembalilah “rombogan mahal” itu ke Jakarta untuk melaporkan secara tertulis kepada pihak pemberi dana bahwa “tugas telah diselesaikan”. (Abdurrahman Wahid, Gerakan Perempuan dan Pemilu, Gusdur dot Net)

Penulis bukan bermaksud sinis terhadap apa yang telah diupayakan oleh aktivis-aktivis perempuan memberdayakan kaumnya dalam pencapaian keterwakilan perempuan secara politik. Tetapi dirasa perlu rumusan pemberdayaan dan keterwakilan semestinya di reaktualisasi dalam kemasan yang lebih aspiratif dan inspiratif dalam kerangka bangunan kemanusiaan.

Menonjolkan hanya pada tuntutan keterwakilan di parlemen saja, belum dapat memberikan makna lebih bagi pencapaian sasaran itu sendiri. Hal ini terlihat dalam kenyataan empirik yang menunjukkan, walaupun Undang-undang sudah mengatur kuota keterwakilan perempuan di politik sebesar 30 persen, tetapi belum tercapai secara maksimal.

Harus dipahami bahwa memarjinalkan suatu kelompok oleh kelompok lain yang merasa lebih kuat merupakan pencerminan sikap atau tindakan yang dapat dikategorikan sebuah penindasan. Kenyataan yang tidak dapat dinafikan dan berlaku di muka bumi, sebagai sebuah perilaku penistaan dan mengarah pada ketidak manusiawian sebuah kelompok, yang oleh Paulo Freire, seorang pendidik multikultural dari Brasil disebutkan proses pembenaman pada budaya bisu.

Memarjinalkan keterwakilan perempuan, apapun alasannya dapat dikatakan tidak manusiawi dan merupakan tindakan yang merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan (dehumanisasi) itu sendiri, oleh sebab itu memerlukan suatu usaha bagi memanusiakan kembali kaum perempuan dalam konteks keterwakilannya secara politik.

Sebuah pendapat menyebutkan bahwa muatan pendidikan politik bagi kaum perempuan haruslah berorientasi kepada pengertian realitas diri manusia dan realitas kaum perempuan itu sendiri. Belum dirasa cukup, apabila terbatas pada pengenalan yang bersifat objektif maupun hanya bersifat subjektif saja, tetapi keduanya harus saling melengkapi.

Kesadaran subjektif serta kemampuan objektif merupakan fungsi dialektif yang ajeg (konstan) yang tumbuh dalam diri manusia itu sendiri dan dalam konteks kenyataan terjadi pertentangan, merupakan kondisi yang harus selalu dipahami. Dialektif adalah upaya menjadi arif untuk tidak sekedar memandang persoalan hanya kepada yang salah atau yang benar saja.

Pendidikan politik kaum perempuan harus mengacu pada sasaran kemampuan kaum perempuan memiliki kekuatan penyadaran akan pentingnya pembebasan kaum perempuan terhadap marjinalisasi politik terhadap kaumnya, sehingga kaum perempuan memiliki jati diri yang kuat dalam kiprah politiknya.

Pendidikan politik perempuan hanyalah bertujuan untuk membebaskan perempuan dari ketidak-setaraan perlakuan dan bukan bertujuan pada kekuasaan atau penguasaan (dominasi), sebagaimana yang dilakukan Raden Ajeng Kartini dan pejuang perempuan lainnya, mereka bukan menuntut kekuasaan, mereka hanya menuntut agar kaum perempuan memperoleh pendidikan yang layak seperti kaum lelaki ketika itu, karena mereka sadar bahwa kebodohan akan menjerumuskan dirinya pada budaya bisu. (Telah dimuat di Harian Batampos, 7 Juni 2007 )

Senin, 21 Juli 2008

LSM Perempuan Bina Kaumku Peduli KB

Dalam rangka hari Kartini kali ini, banyak cara dan agenda dilakukan kaum perempuan untuk mengenang jasa-jasa kartini.
Salahsatunya memberikan layanan KB gratis bagi Keluarga miskin dan yang terpenting KB PRIA. Meskipun agak sedikit kesulitan dalam sosialisasinya, tapi masyarakat sudah mulai antusias dan pemahaman mereka akan KB pria mulai berubah.
''Kita lakukan sosialisasi sampai ketingkat RW di setiap kecamatan, penyuluhan akan dilanjutkan. Pelayanan KB pria di RSUD dengan tenaga ahli spesialis bedah dari Jakarta,''Ujar Devi Yanti Nur, Sekjen LSM Perempuan Bina Kaumku.
Disaat bersamaan Ketua Umum LSM Binakaumku, acara sosialisasi dan Pelaksanaan KB Pria ini memang dirancang untuk memotivasi pemahaman masyarakat akan KB, Jadi kita minta Partisipasi masyarakat terutama laki-laki untuk menyukseskan acara ini.
''Bahkan untuk 50 orang peminat pertama kami berikan uang saku dan pelayanan gratis. Karena selama ini kesadaran masyarakat akan ber-KB mulai berkurang, disisi lain KB Pria, diberikan pada keluarga harmonis yang istrinya punya masalah kesehatan, tidak cocok untuk ber-KB, maka partisipasi suami amat penting,''ujarnya.
Layanan KB Gratis bagi Gakin dan KB Pria ini terwujud atas kerjasama pihak BKKBN Propinsi, Dinas Kesehatan dan KB Kota tanjungpinang dan LSM Bina Kaumku.
''kita juga akan berikan pembagian Kondom didaerah rawan penyebaran HIV/AIDS dikawasan Pub, Akau dan lokalisasi,''tambah Anis Lagi.Kami juga mengucapkan terimakasih atas partisipasi dukungan semua pihak. (***)

Senin, 07 Juli 2008

Memaknai Seabad Kebangkitan Mubes Pertama Perempuan

Sabtu, 19 April 2008 | 09:30:17, Batam Cyber Zone

Ketua Panitia Mubes Provinsi Kepri/ Sekjend LSM Bina Kaumku Sebenarnya ketika slogan ”Kebangkitan I abad Perempuan Indonesia” dikirim ke-email penulis oleh sebuah lembaga di Jawa beberapa bulan lalu, penulis sempat dilanda kebingungan. Kata yang dikirimkan ”mengajak” atau ”mengejek” atau ”menuduh” di tengah kondisi multikomplek ”sulit ” dihadapi kaum perempuan saat ini. Namun, mudah-mudah ini bukan alibi penulis saja. Namun di tengah unconfiuse, penegasan datang melalui Surat Edaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan Nomor:

B272/set/Men-PP/Dep/II/II/2008 perihal penyampaian agenda rapat acara Kebangkitan Perempuan Indonesia dalam rangka Satu Abad Kebangkitan Nasional 1908-2008 yang disebar ke seluruh penjuru Indonesia. Terpikirkan ada benarnya juga. Aksi ini setidaknya membangun semangat kekompakan untuk semua kalangan, bagimana membangkitkan kaum perempuan dalam perannya di kehidupan bernegara. Atau menggugah kaum perempuan Kepri saat ini untuk saling peduli. Termasuk tentang memotivasi kaum perempuan lainnya, merumuskan arah pembangunan perempuan itu sendiri. Tidak saling tuding, dan saling sikut apalagi fitnah, karena manajemen konflik seperti itu adalah manajemen tradisional yang dibuat kaum perempuan sendiri hingga tidak ada suara bulat yang mencuat ke permukaan dan layak dipikirkan jadi masukan pemimpin negeri ini.

Awal Kebangkitan
Akhirnya konsentrasi pemikiran para kaum perempuan mulai terbius pada pertemuan yang dirancang oleh Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi Kepulauan Riau, melalui pemaparan Kepala Biro dan diketahui ujung pangkal dari esensi acara Kebangkitan I Abad Perempuan, termasuk penulis yang tadinya kebingungan. Bukan kata-kata ”Kebangkitannya” tapi lebih ke dalam makna. Kebangkitan kalau hanya slogan buat apa, dan bila tidak mulai menilai, mengisi dan memaknainya dari diri, dan lingkungan perempuan itu sendiri.


”Itu......itu, sudah lama kita ini bangkit, tapi lebih baik bangkit dalam makna yang lebih dalam. Baik aksi, keterlibatan dan perluasan makna, tak berhenti pada momentum saja.........” ketus salah seorang peserta presidium hari itu


Apakah kebangkitan perempuan yang dimaksud saat ini, sama dengan kebangkitan pada keterlibatan perempuan di nusantara mengiringi Kebangkitan Nasional Boedi Oetomo pada tahun 1908 dengan terbentuknya Bagian Perempuan di Bandung yang menerbitkan majalah dua mingguan Putri Hindia. Kemudian, berdirinya Sekolah Keutamaan Istri Tahun 1904, Kerajinan Amai Setia Tahun 1911, Soenting Malajoe, perusahaan koran pertama yang digawangi oleh Rangkayo Rohana Kudus di Bukittinggi dengan melibatkan pengelolanya semua perempuan.


Atau aksi sejarah dari Ny C Th Van Devender, warga Belanda yang mendirikan Puteri Medika, pers dan sekolah perempuan pertama dengan nama ”Kartini” di Jakarta dan menyebar demikian luar biasa di Kepulauan Jawa. Tujuan Utama semua gerakan ini, punya esensi dan tujuan mulia untuk kemajuan dan kemerdekaan perempuan dalam hal pendidikan dan gerakan yang cukup kuat di tengah arus pemikiran maskulin yang amat kental saat itu. Keberhasilan dan kesuksesan juga dinikmati oleh Sekolah Keutamaan Istri yang dikembangkan di Padangpanjang. Kemampuan para pendiri sejarah perempuan di atas cukup membuat arti hingga organisasi-organisasi perempuan bermunculan dan akhirnya menjadi aksi sejarah dalam Kongres Organisasi Perempuan Pertama di Yogyakarta tahun 1928. Yang jelas, Perjuangan kaum perempuan saat itu, sangat konsisten, terarah dan komitmen demi kepentingan perempuan untuk hidup bebas, cerdas, mandiri dan lebih baik. Hasilnya kita semua perempuan pasti sepakat, bahwa perjuangkan mereka kita nikmati hari kemarin, hari ini dan masa datang.

Kebangkitan Perempuan versi Kekinian
Cukup banyak cara, aksi, pergolakan, reformasi dan reaksi, sejarah tetap dikenang dan dicatat. Namun perjuangan perempuan menuju ”kesempatan”dalam berkehidupan menjadi semakin luas di segala bidang. Di Indonesia sendiri, yang teranyar adalah kuota 30 persen keterwakilan kaum perempuan di lembaga legislatif. Setelah menentang segala bentuk aksi diskriminasi, eliminasi, kekerasaan terhadap perempuan. Isunya pun semakin beragam dalam segala bentuk kondisi dan sisi kehidupan. Pro-kontra terus terjadi, akan tetapi tetap di tengah perjuangan, ada kaum perempuan yang sama sekali tak perduli.


Gerakan feminis, yang bersifat tidak bebas seperti gerakan feminis di negara eropa yang berani cukup keras dan tegas mengurai apa yang perempuan mau, butuh dalam bentuk akomodir termasuk semua kebijakan. Reformasi membawa perubahan melalui amandemen empat kali UUD 1945, UU Pemilu, UU Kewarganegaraan dan UU Perkawinan. Muatan tetap agar memanusiakan perempuan akan hak–hak perempuan dalam pembangunan.


Gerakan ini terus menggejala di Indonesia mulai dari pusat sampai ke daerah. Kalangan perempuan tinggal menentukan bagaimana bersikap dan menyikapi keadaan, lingkungan, peraturan, ketentuan, kesempatan yang ada di sekitar mereka dengan segala konsekuensi harus juga dipikirkan kaum perempuan. Tidak menutup kemungkinan, peran perempuan dalam pembangunan Kepulauan Riau, provinsi yang kita cintai ini.

Esensi Mubes
Berangkat dari keinginan semua elemen perempuan, bahwa untuk menyikapi kondisi, situasi dan potensi yang kemudian hadir di Provinsi Kepulauan Riau ini, maka kalangan perempuan menyepakati untuk menyatukan arah, gerak, suara, tindakan agar perempuan Kepri bangkit bersama untuk bersatu, bergerak, berpadu dalam mengisi pembangunan. Agar pencapaian pembangunan Provinsi ini bisa dirasakan secara adil, setara. Idealnya.


Dengan harapan kebangkitan I Abad Perempuan, di Kepri ditandainya adanya gerakan yang menuaikan sejarah masa depan, di mana anak cucu kita bisa menikmatinya. Tidak untuk kepentingan golongan, pribadi, partai namun lebih kepada ambisi massa, ambisi kaum yakni ”Kepentingan Perempuan”. Jangan sebagai provinsi baru, kemampuan perempuan Kepri ini dikatakan tertinggal dengan kemampuan perempuan provinsi lainnya. ***