Senin, 07 Juli 2008

Memaknai Seabad Kebangkitan Mubes Pertama Perempuan

Sabtu, 19 April 2008 | 09:30:17, Batam Cyber Zone

Ketua Panitia Mubes Provinsi Kepri/ Sekjend LSM Bina Kaumku Sebenarnya ketika slogan ”Kebangkitan I abad Perempuan Indonesia” dikirim ke-email penulis oleh sebuah lembaga di Jawa beberapa bulan lalu, penulis sempat dilanda kebingungan. Kata yang dikirimkan ”mengajak” atau ”mengejek” atau ”menuduh” di tengah kondisi multikomplek ”sulit ” dihadapi kaum perempuan saat ini. Namun, mudah-mudah ini bukan alibi penulis saja. Namun di tengah unconfiuse, penegasan datang melalui Surat Edaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan Nomor:

B272/set/Men-PP/Dep/II/II/2008 perihal penyampaian agenda rapat acara Kebangkitan Perempuan Indonesia dalam rangka Satu Abad Kebangkitan Nasional 1908-2008 yang disebar ke seluruh penjuru Indonesia. Terpikirkan ada benarnya juga. Aksi ini setidaknya membangun semangat kekompakan untuk semua kalangan, bagimana membangkitkan kaum perempuan dalam perannya di kehidupan bernegara. Atau menggugah kaum perempuan Kepri saat ini untuk saling peduli. Termasuk tentang memotivasi kaum perempuan lainnya, merumuskan arah pembangunan perempuan itu sendiri. Tidak saling tuding, dan saling sikut apalagi fitnah, karena manajemen konflik seperti itu adalah manajemen tradisional yang dibuat kaum perempuan sendiri hingga tidak ada suara bulat yang mencuat ke permukaan dan layak dipikirkan jadi masukan pemimpin negeri ini.

Awal Kebangkitan
Akhirnya konsentrasi pemikiran para kaum perempuan mulai terbius pada pertemuan yang dirancang oleh Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi Kepulauan Riau, melalui pemaparan Kepala Biro dan diketahui ujung pangkal dari esensi acara Kebangkitan I Abad Perempuan, termasuk penulis yang tadinya kebingungan. Bukan kata-kata ”Kebangkitannya” tapi lebih ke dalam makna. Kebangkitan kalau hanya slogan buat apa, dan bila tidak mulai menilai, mengisi dan memaknainya dari diri, dan lingkungan perempuan itu sendiri.


”Itu......itu, sudah lama kita ini bangkit, tapi lebih baik bangkit dalam makna yang lebih dalam. Baik aksi, keterlibatan dan perluasan makna, tak berhenti pada momentum saja.........” ketus salah seorang peserta presidium hari itu


Apakah kebangkitan perempuan yang dimaksud saat ini, sama dengan kebangkitan pada keterlibatan perempuan di nusantara mengiringi Kebangkitan Nasional Boedi Oetomo pada tahun 1908 dengan terbentuknya Bagian Perempuan di Bandung yang menerbitkan majalah dua mingguan Putri Hindia. Kemudian, berdirinya Sekolah Keutamaan Istri Tahun 1904, Kerajinan Amai Setia Tahun 1911, Soenting Malajoe, perusahaan koran pertama yang digawangi oleh Rangkayo Rohana Kudus di Bukittinggi dengan melibatkan pengelolanya semua perempuan.


Atau aksi sejarah dari Ny C Th Van Devender, warga Belanda yang mendirikan Puteri Medika, pers dan sekolah perempuan pertama dengan nama ”Kartini” di Jakarta dan menyebar demikian luar biasa di Kepulauan Jawa. Tujuan Utama semua gerakan ini, punya esensi dan tujuan mulia untuk kemajuan dan kemerdekaan perempuan dalam hal pendidikan dan gerakan yang cukup kuat di tengah arus pemikiran maskulin yang amat kental saat itu. Keberhasilan dan kesuksesan juga dinikmati oleh Sekolah Keutamaan Istri yang dikembangkan di Padangpanjang. Kemampuan para pendiri sejarah perempuan di atas cukup membuat arti hingga organisasi-organisasi perempuan bermunculan dan akhirnya menjadi aksi sejarah dalam Kongres Organisasi Perempuan Pertama di Yogyakarta tahun 1928. Yang jelas, Perjuangan kaum perempuan saat itu, sangat konsisten, terarah dan komitmen demi kepentingan perempuan untuk hidup bebas, cerdas, mandiri dan lebih baik. Hasilnya kita semua perempuan pasti sepakat, bahwa perjuangkan mereka kita nikmati hari kemarin, hari ini dan masa datang.

Kebangkitan Perempuan versi Kekinian
Cukup banyak cara, aksi, pergolakan, reformasi dan reaksi, sejarah tetap dikenang dan dicatat. Namun perjuangan perempuan menuju ”kesempatan”dalam berkehidupan menjadi semakin luas di segala bidang. Di Indonesia sendiri, yang teranyar adalah kuota 30 persen keterwakilan kaum perempuan di lembaga legislatif. Setelah menentang segala bentuk aksi diskriminasi, eliminasi, kekerasaan terhadap perempuan. Isunya pun semakin beragam dalam segala bentuk kondisi dan sisi kehidupan. Pro-kontra terus terjadi, akan tetapi tetap di tengah perjuangan, ada kaum perempuan yang sama sekali tak perduli.


Gerakan feminis, yang bersifat tidak bebas seperti gerakan feminis di negara eropa yang berani cukup keras dan tegas mengurai apa yang perempuan mau, butuh dalam bentuk akomodir termasuk semua kebijakan. Reformasi membawa perubahan melalui amandemen empat kali UUD 1945, UU Pemilu, UU Kewarganegaraan dan UU Perkawinan. Muatan tetap agar memanusiakan perempuan akan hak–hak perempuan dalam pembangunan.


Gerakan ini terus menggejala di Indonesia mulai dari pusat sampai ke daerah. Kalangan perempuan tinggal menentukan bagaimana bersikap dan menyikapi keadaan, lingkungan, peraturan, ketentuan, kesempatan yang ada di sekitar mereka dengan segala konsekuensi harus juga dipikirkan kaum perempuan. Tidak menutup kemungkinan, peran perempuan dalam pembangunan Kepulauan Riau, provinsi yang kita cintai ini.

Esensi Mubes
Berangkat dari keinginan semua elemen perempuan, bahwa untuk menyikapi kondisi, situasi dan potensi yang kemudian hadir di Provinsi Kepulauan Riau ini, maka kalangan perempuan menyepakati untuk menyatukan arah, gerak, suara, tindakan agar perempuan Kepri bangkit bersama untuk bersatu, bergerak, berpadu dalam mengisi pembangunan. Agar pencapaian pembangunan Provinsi ini bisa dirasakan secara adil, setara. Idealnya.


Dengan harapan kebangkitan I Abad Perempuan, di Kepri ditandainya adanya gerakan yang menuaikan sejarah masa depan, di mana anak cucu kita bisa menikmatinya. Tidak untuk kepentingan golongan, pribadi, partai namun lebih kepada ambisi massa, ambisi kaum yakni ”Kepentingan Perempuan”. Jangan sebagai provinsi baru, kemampuan perempuan Kepri ini dikatakan tertinggal dengan kemampuan perempuan provinsi lainnya. ***

Tidak ada komentar: