Senin, 28 Juli 2008

PEREMPUAN - PEREMPUAN POLITIK

Ditulis oleh Eddy Prasetyo Tuesday, 03 July 2007

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 10 Mei 2007, Kantor Pemberdayaan Perempuan (KPP) Kota Batam bekerjasama dengan Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Kota Batam menggelar Program Peningkatan dan Pencerdaskan Kualitas Perempuan dalam Politik.

Acara yang menghadirkan pembicara Dra. Hj. Maimanah Umar, MA, Ketua Kaukus Parlemen Perempuan Indonesia (KPPI) dan Gevarina Johan, MA Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia ini, menurut Dra. Hj. Nurmadiah, M.Pd Kepala KPP Kota Batam bertujuan untuk meningkatkan wawasan dan kualitas perempuan di bidang politik. “Kalaupun tidak untuk duduk di legislatif, eksekutif atau yudikatif, minimal perempuan tahu hak dan kewajibannya serta tidak buta politik”, kata Kepala KPP, Nurmadiah (Harian Batampos, 16/5/2007)


Hampir di seluruh belahan dunia (termasuk di Indonesia), hak demokratik yang bersifat proporsional bagi kaum perempuan, baik hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dapat dipilih dalam pemilihan umum (right to stand for election, dalam bentuk terjaminnya serta terpenuhinya keterlibatan perempuan dalam wilayah partisipasi politk dinilai belum cukup signifikan.

Struktur budaya yang bersifat patriarkhis serta kondisi sosial politik yang terjadi, dianggap belum mendukung sepenuhnya terhadap kapasitas perempuan untuk dapat tampil, bersaing dan maju. Padahal secara realita fakta di lapangan menunjukkan jumlah pemilih perempuan cenderung terus meningkat bahkan melebihi jumlah pemilih dari kaum laki-laki.

Merupakan sebuah niat baik, ketika akhirnya pemerintah mengesahkan Undang-Undang Pemilu, dimana dalam batang tubuh Undang-Undang Pemilu Pasal 65 Ayat (1) secara spesifik mengatur bahwa : “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen” (Himpunan Undang-Undang Bidang Politik, 2004)

Menurut Alan Wall, atas dasar laporan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 1995 disertai analisa tentang gender dan pembangunan di 174 negara, menyatakan bahwa meskipun benar tidak ada hubungan nyata yang terbentuk antara tingkat partisipasi perempuan dengan lembaga-lembaga politik dan kontribusi mereka terhadap kemajuan perempuan, jumlah 30 persen dianggap jumlah kritis yang dapat membantu perempuan untuk memberi pengaruh yang berarti dalam politik. (Alan Wall, 2001 dari Vina Salviana, 2006)

Mengapa perempuan belum mendapatkan haknya secara maksimal atas kuota sebesar 30 persen, walaupun telah dikuatkan oleh Undang-Undang yang mengaturnya ?
Kenyataan yang terjadi adalah, dalam tubuh partai-partai politik, ketika secara internal melakukan kegiatan sosialisasi bersamaan dengan pendidikan politik untuk pengurus dan konstituennya sama sekali belum menyentuh secara khusus substansi keterlibatan perempuan dan kuota sebesar 30 persen yang dimiliki.

Kondisi tersebut dianggap sebagai salah satu penyebab mengapa peran perempuan dalam keterlibatannya sebagai bagian penentu kebijakan politis menjadi tidak maksimal, selain pendapat yang mengidentifikasikan seringnya terjadi gesekan-gesekan antara kepentingan partai politik dan kepentingan kaum perempuan, dimana kaum perempuan cenderung mementingkan perjuangan kelompoknya saja.

Menurut Vina Salviana, aksi mendukung (affirmative action) merupakan faktor yang dianggap strategis untuk mempromosikan perempuan dalam posisi pengambil keputusan, selain faktor-faktor lainnya, yaitu menyangkut sistem pemilu, peran organisasi partai-partai politik serta penerimaan dari sisi kultural (Vina Salviana, 2006)

Pendidikan Politik Perempuan

Banyak kalangan berpendapat bahwa salah satu solusi bagi keterwakilan perempuan di bidang politk berupa pelaksanaan pendidikan politik bagi kaum perempuan itu sendiri, walaupun belum ditemukan formula yang efektif, bentuk pendidikan politik seperti apa yang perlu dilakukan.

Mengapa pendidikan politik bagi perempuan menjadi penting ? sebagaimana dipaparkan dalam makalah yang disampaikan Dra. Hj. Maimanah Umar, MA bahwa : Kiat meningkatkan prestasi perempuan di wahana politik, harus memiliki beberapa syarat antara lain : memiliki konsep diri/ mengetahui dirinya sendiri ; memiliki jati dri ; memiliki kapasitas ; memiliki kredibilitas ; memiliki kapabelitas ; memiliki disiplin ; dapat membagi waktu dengan skala prioritas dan senantiasa berupaya meningkatkan kualitas diri’ilmu pengetahuan.

Menurut hemat penulis apa yang disampaikan oleh Ketua KPPI tersebut masih dalam tataran yang bersifat umum, memerlukan kajian mendalam yang implementatif dan tepat sasaran. Mengingat gerakan politik sarat dengan improvisasi diplomasi dan bukan sebatas pada teoritis politik un sich.

Pastor J.B Mangunwijaya pernah membuat sebuah tulisan yang menggambarkan lima orang aktivis perempuan datang dengan pesawat terbang dari Jakarta, dengan berdandan mewah, mengenakan lipstik yang berharga puluhan ribu dengan rambut disasak oleh salon yang sangat mahal, kemudian pargi ke pasar Bringharjo di Yogyakarta. Di sana, mereka menjelaskan dalam bahasa Indonesia yang lancar, dengan diselingi oleh istilah-istilah bahasa asing, menjelaskan hak-hak perempuan kepada ibu-ibu para pedagang kecil (mungkin kepada mereka yang buta huruf bercampur aduk dengan yang melek huruf). Setelah satu jam penjelasan diberikan, para pedagang kecil itu mlongo dan tidak mengerti apa yang diuraikan. Kemudian kembalilah “rombogan mahal” itu ke Jakarta untuk melaporkan secara tertulis kepada pihak pemberi dana bahwa “tugas telah diselesaikan”. (Abdurrahman Wahid, Gerakan Perempuan dan Pemilu, Gusdur dot Net)

Penulis bukan bermaksud sinis terhadap apa yang telah diupayakan oleh aktivis-aktivis perempuan memberdayakan kaumnya dalam pencapaian keterwakilan perempuan secara politik. Tetapi dirasa perlu rumusan pemberdayaan dan keterwakilan semestinya di reaktualisasi dalam kemasan yang lebih aspiratif dan inspiratif dalam kerangka bangunan kemanusiaan.

Menonjolkan hanya pada tuntutan keterwakilan di parlemen saja, belum dapat memberikan makna lebih bagi pencapaian sasaran itu sendiri. Hal ini terlihat dalam kenyataan empirik yang menunjukkan, walaupun Undang-undang sudah mengatur kuota keterwakilan perempuan di politik sebesar 30 persen, tetapi belum tercapai secara maksimal.

Harus dipahami bahwa memarjinalkan suatu kelompok oleh kelompok lain yang merasa lebih kuat merupakan pencerminan sikap atau tindakan yang dapat dikategorikan sebuah penindasan. Kenyataan yang tidak dapat dinafikan dan berlaku di muka bumi, sebagai sebuah perilaku penistaan dan mengarah pada ketidak manusiawian sebuah kelompok, yang oleh Paulo Freire, seorang pendidik multikultural dari Brasil disebutkan proses pembenaman pada budaya bisu.

Memarjinalkan keterwakilan perempuan, apapun alasannya dapat dikatakan tidak manusiawi dan merupakan tindakan yang merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan (dehumanisasi) itu sendiri, oleh sebab itu memerlukan suatu usaha bagi memanusiakan kembali kaum perempuan dalam konteks keterwakilannya secara politik.

Sebuah pendapat menyebutkan bahwa muatan pendidikan politik bagi kaum perempuan haruslah berorientasi kepada pengertian realitas diri manusia dan realitas kaum perempuan itu sendiri. Belum dirasa cukup, apabila terbatas pada pengenalan yang bersifat objektif maupun hanya bersifat subjektif saja, tetapi keduanya harus saling melengkapi.

Kesadaran subjektif serta kemampuan objektif merupakan fungsi dialektif yang ajeg (konstan) yang tumbuh dalam diri manusia itu sendiri dan dalam konteks kenyataan terjadi pertentangan, merupakan kondisi yang harus selalu dipahami. Dialektif adalah upaya menjadi arif untuk tidak sekedar memandang persoalan hanya kepada yang salah atau yang benar saja.

Pendidikan politik kaum perempuan harus mengacu pada sasaran kemampuan kaum perempuan memiliki kekuatan penyadaran akan pentingnya pembebasan kaum perempuan terhadap marjinalisasi politik terhadap kaumnya, sehingga kaum perempuan memiliki jati diri yang kuat dalam kiprah politiknya.

Pendidikan politik perempuan hanyalah bertujuan untuk membebaskan perempuan dari ketidak-setaraan perlakuan dan bukan bertujuan pada kekuasaan atau penguasaan (dominasi), sebagaimana yang dilakukan Raden Ajeng Kartini dan pejuang perempuan lainnya, mereka bukan menuntut kekuasaan, mereka hanya menuntut agar kaum perempuan memperoleh pendidikan yang layak seperti kaum lelaki ketika itu, karena mereka sadar bahwa kebodohan akan menjerumuskan dirinya pada budaya bisu. (Telah dimuat di Harian Batampos, 7 Juni 2007 )

Tidak ada komentar: